Jumat, 18 Juni 2010

Reaktivasi pada Penyakit Jantung Rematik

oleh: Tengku Winda Ardini


Pendahuluan

Demam rematik (DR) dan penyakit jantung rematik (PJR) masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Demam rematik merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada usia anak 5 tahun sampai usia dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosial ekonomi rendah, dan jarang ditemukan pada anak di bawah usia 5 tahun. Pada tahun 1944 diperkirakan diseluruh dunia terdapat 12 juta penderita DR dan PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Angka kejadian DR/PJR di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya masih tinggi. Pada negara berkembang diperkirakan angka DR dan PJR mencapai 20 juta orang dan merupakan penyebab utama kematian oleh karena penyakit kardiovaskular dalam 50 tahun pertama kehidupan, hal ini memperlihatkan mortalitas karena DR dan PJR masih merupakan problem dan kematian karena DR akut terdapat pada anak dan dewasa muda. Prevalens PJR di Indonesia diperkirakan sebesar 0,3-0,8 per 1000 anak berusia 5-15 tahun berdasarkan data terakhir tahun 1981-1990.1-4



DR dan PJR merupakan komplikasi radang non supuratif dari infeksi kuman Streptokokus beta-hemolitikus grup A pada tenggorokan berupa respon sistem imunitas tubuh yang bersifat lambat. Manifestasinya berupa sindroma klinik penyakit akibat infeksi yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum. PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. DR merupakan suatu penyakit autoimun multisistem yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan, dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi. Walaupun penyakit ini merupakan suatu reaksi peradangan di seluruh tubuh, tetapi komplikasi PJR merupakan satu-satunya komplikasi yang sifatnya paling serius dan permanen. Komplikasi ini ditentukan oleh beratnya infeksi DR yang pertama kali dan seringnya infeksi berulang (reaktivasi) di kemudian hari.1-3,5
Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui dan memahami penegakan diagnosa DR dan PJR pada umumnya dan reaktivasi pada PJR pada khususnya, serta memahami patofisiologi, gejala klinis perjalanan penyakit, komplikasi dan diharapkan mampu melakukan penanganan pasien PJR dengan reaktivasi sebaik mungkin baik dari segi pengobatan, pembedahan, ataupun pencegahan agar tidak terjadi reaktifasi kembali.

Laporan Kasus

Seorang laki-laki, 21 tahun , masuk pada tanggal 15 Maret 2010, datang dengan keluhan sesak nafas yang telah dialami os sejak 1 bulan terakhir dan semakin memberat dalam 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan saat os beraktivitas sedang terutama saat os sedang bekerja di ladang. Riwayat mudah lelah dijumpai sejak 3 tahun terakhir. Riwayat terbangun di malam hari oleh karena sesak nafas dijumpai, riwayat tidur dengan 2 sampai 3 bantal dijumpai, riwayat kaki bengkak tidak dijumpai. Riwayat demam dan nyeri sendi berpindah dijumpai pada saat os berusia 12 tahun. Riwayat infeksi saluran nafas berulang saat kecil dijumpai. Sebelumnya os dirawat di RSU Bagan Siapi-api selama 2 hari dikatakan menderita penyakit jantung katup dan dirujuk ke RSHAM untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Pada tahun 2008, os juga pernah dirawat di RSHAM dengan keluhan yang sama dan didiagnosa dengan kelainan katup. Namun os hanya kontrol dan minum obat teratur selama 6 bulan saja.
Pada pemeriksaan fisik, didapati kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/60mmHg, denyut jantung 84 kali per menit, pernafaasan 28 kali per menit, suhu tubuh 37oC. Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik. Tekanan vena jugularis meningkat yaitu 5+4 cmH20. Jantung S1 (N) S2 (N), murmur pansistolik gr 4/6 pada apex menjalar sampai axilla dijumpai, murmur middiastolik gr ¾ di apex, gallop tidak dijumpai. Paru: suara pernafasan vesikuler, suara tambahan ronkhi basah basal dijumpai, wheezing tidak dijumpai. Abdomen: soepel, hepar dan limpa tidak teraba, bising usus (N). Ekstremitas: akral hangat, edema pretibia tidak dijumpai.
Dari pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan irama AF, QRS rate 90 kali permenit, QRS axis normal, durasi QRS 0,06”, LVH voltase (+), VES (-). Kesan: Atrial fibrilasi normo ventricular respon + LVH.
Dari pemeriksaan foto toraks didapatkan CTR 75%, segmen aorta normal, segmen pulmonal menonjol, pinggang jantung mendatar, apex downward, kongesti dijumpai, infiltrat tidak dijumpai. Kesan: kardiomegali + kongesti.
Dari pemeriksaan laboratorium: Hb 12,9 g/dl; Ht 40,1%; WBC 6800/mm3; PLT 284000/mm3; Ur 23 g/dl; Cr 1,0 g/dl; SGOT 24 U/L; SGPT 20 U/L; Na 141 mEq/L; Kalium 4,0 mEq/L; Chlorida 109 mEq/L; KGD ad random 114 mg/dl; CRP (+); ASTO 300.
Dari pemeriksaan ekokardiografi: Katup mitral mengalami regurgitasi dengan velocity 4,68 m/s dan pressure gradient 89,00 mmHg. Stenosis mitral secara planimetri 3,42 cm2. Katup aorta mengalami regurgitasi dengan velocity 3,97 m/s dan pressure gradient 63,17 mmHg dan PHT 554. Katup trikuspid mengalami regurgitasi dengan velocity 2,97 m/s dan pressure gradient 35,40 mmHg. Katup pulmonal baik. Dimensi ruang jantung atrium kiri dilatasi dengan EDD 76,7 mm. Wall motion normokinetik. Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun dengan ejection fraction 45,5%. Kesan: MR severe + MS moderate + AR moderate + TR moderate dengan ejection fraction 45,5%.
Penderita didiagnosa dengan CHF Fc II-III ec. MVHD (MR severe + MS moderate + AR moderate + TR moderate) ec penyakit jantung rematik dan diberikan penatalaksanaan tirah baring, oksigen nasal 2-4 l/i, furosemid 1x40mg, digoxin 1x0,125mg, simarc 1x2mg, captopril 3x12,5mg dan injeksi Procain Penicillin 1.200.000 IU/hari selama 10 hari.





















Gambar 1. EKG pada saat masuk 15 Maret 2010 (kiri) dan setelah 10 hari rawatan 25 Maret 2010 (kanan)




Gambar.2 Foto Thorax PA 15 Maret 2010





















Gambar 3. Ekokardiografi 16 Maret 2010


Diskusi Kasus

Demam rematik (DR) adalah penyakit peradangan akut yang mengikuti infeksi tenggorokan oleh kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A berulang dan bukan mengikuti infeksi kuman lain atau di tempat lain, misalnya kulit. Penyakit jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Reaktivasi merupakan infeksi berulang dari kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A yang dapat mempengaruhi berat ringannya komplikasi dari DR.2,5
Untuk kriteria penegakan diagnosa DR pertama kali dikemukakan oleh T. Duckett Jones pada tahun 1944 yang disebut The Jones Criteria, sebagai satu kesatuan clinical guidelines untuk mendiagnosa DR dan karditis. Kriteria ini terdiri dari kategori mayor dan minor. Kategori mayor terdiri dari carditis, athralgia, nodul subkutan, chorea, dan riwayat DR atau RHD yang telah ada. Kategori minor terdiri dari manifestasi klinis ( demam, erythema marginatum, nyeri abdomen, epistaxis dan kelainan paru) dan penanda infamasi akut dari hasil laboratorium (leukositosis, peningkatan LED, atau CRP). Kriteria ditegakkan berdasarkan dipenuhinya dua mayor, atau satu mayor dan dua minor. Kriteria ini ditinjau kembali, dimodifikasi dan direvisi oleh American Heart Association (AHA) dan World Health Organization (WHO) yang pada akhirnya dikeluarkan kriteria diagnosis DR dan PJR berdasarkan revisi kriteria Jones pada tahun 2002-2003 oleh WHO, yang dapat dikategorikan menjadi enam kategori diagnostik, yaitu: demam rematik episode pertama, pasien demam rematik berulang tanpa penyakit jantung rematik, demam rematik berulang dengan penyakit jantung rematik, rematik korea, rematik karditis, dan penyakit jantung rematik kronis.2,4,6
Kriteria Diagnosis

Kategori diagnostik Kriteria
Episode Primer Demam Rematika Manifestasi 2 mayor* atau 1 mayor + 2 minor**
Ditambah dengan bukti adanya infeksi Streptokokus grup A***
Demam Rematik berulang pada pasien tanpa Penyakit Jantung Rematikb Manifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor
Ditambah dengan bukti adanya infeksi Streptokokus grup Ac
Demam Rematik berulang pada pasien dengan Penyakit Jantung Rematik 2 Minor ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus grup A***
Rematik Khorea
Rematik Karditis Manifestasi mayor lainnya atau bukti adanya infeksi streptokokus grup A tidak diperlukan
Lesi katup kronik dari Penyakit Jantung Rematik (pasien datang pertama kali dengan mitral stenosis atau penyakit katup mitral disertai dengan atau tanpa penyakit katup aorta)d Tidak memerlukan kriteria lainnya untuk diagnosa Penyakit Jantung Rematik.

* Kriteria Mayor - Karditis
- Poliartritis migrans
- Khorea
- Eritema marginatum
- Nodul Subkutan
**Kriteria Minor - Klinis : fever, polyarthralgia
- Laboratorium:
o Peningkatan penanda inflamasi akut (LED atau leukositosis)
*** Data yang mendukung adanya - Interval PR (pada EKG) memanjang
Infeksi streptokokus grup A - Peningkatan ASTO
Dalam 45 hari sebelumnya - Kultur tenggorokan positif
- Rapid antigen test untuk streptokokus grup A
- Recent Scarlet Fever

a pasien dengan poliartritis (atau hanya poliartralgia atau monoartritis) dengan beberapa (3 atau lebih) manifestasi minor,beserta bukti adanya infeksi baru dari streptokokus grup A
b infektif endokarditis telah disingkirkan
c Pasien dengan serangan berulang kemungkinan tidak dapat memenuhi kriteria
d Penyakit Jantung bawaan harus disingkirkan4

Hubungan terjadinya DR dengan infeksi kuman streptokokus beta-hemolitikus grup telah dapat dijelaskan. DR merupakan respon autoimun yang lambat terhadap faringitis streptokokal grup A. Manifestasi klinis dan tingkat keparahannya penyakit ini tergantung dari variasi genetik individu, virulensi kuman penyebab dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti belum diketahui. Mekanismenya merupakan bagian dari hasil produksi antibodi autoreaktif dan sel T yang bereaksi silang terhadap komponen streptokokus beta-hemolitikus grup A dan jaringan tubuh penderita. Peran antigen histokompability mayor dan antigen jaringan spesifik yang potensial masih dalam penelitian. Terbukti sel limfosit T memegang perana penting dalam patogenesis karditis rematik.2,4,7
Streptokokal M protein adalah salah satu determinan yang terbaik dari virulensi kuman ini, menyebar luas pada permukaan sel streptokokus dan strukturnya homolog terhadap cardiac myosin dan molekul alpha –helical coiled coil lainnya, seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup jantung. Faktor genetik pada individu dapat mempengaruhi patogenesis penyakit ini. Tidak ada hubungan yang signifikan dengan Human Leukocyte Antigen (HLA) kelas I, tetapi ditemukannya peningkatan HLA kelas II serta antigen DR2 dan DR4. 2,4,7,8
Infeksi streptokokus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti perlekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptokokal fibronectin-binding protein. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang buruk, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini.2
Lesi patognomonik dari DR adalah Aschoff body pada stadium proliferatif, muncul 30-40 persen pada sampel biopsi dari pasien dengan demam rematik akut. Aschoff body adalah nodul reaktif dengan jaringan ikat yang secara dominan ditemukan di pembuluh darah miokard dan di jaringan ikat yang dipisahkan oleh myocardial fasicles. Lesi primer berupa peningkatan kolagen yang menggambarkan perubahan coagulationlike dengan eosinofilia, proses ini disebut nekrosis fibrinoid. Reaksi seluler sekunder pada proses primer menyebabkan pembentukan nodul. Keterlibatan sel seperti fagosit non spesifik, myocardial histiocytes, dan sel multinukleus (Aschoff giant cells). Pada akhirnya nodul ini menjadi keseluruhan fibrous dan aseluler secara alamiah. Kehilangan miokard yang adekuat pada karditis rematik dapat menyebabkan myocardial failure selama fase penyakit ini.9
Cacat pada katup jantung merupakan manifestasi dari PJR. Banyak pasien dengan penyakit katup mitral rematik mempunyai komponen stenosis dan regurgitasi secara bersamaan. Hal ini disebabkan oleh fusi dari komisura katup jantung dan deformitas “fish mouth” oleh karena proses patologis. Salah satunya bisa mendominasi ataupun kedua komponen ini dapat berjalan seimbang. Mekanisme stenosis mitral yg disebabkan oleh post rheumatic scarring adalah penyatuan dari bagian-bagian katup mitral seperti komisura, daun katup dan chordae. Penyatuan komisura sendiri terlihat 30%, daun katup 15%, dan chordae 10%, dan kebanyakan mengenai lebih dari satu struktur katup. Fibrosis daun katup dengan atau tanpa kalsifikasi, dapat muncul pada komisura yang nenyatu dan mengulserasi permukaan daun katup. Penebalan, penyatuan, dan pemendekan chordae membentuk saluran fibrous di bawah daun katup yang memberika gambaran “fish mouth”. Secara mikroskopis, arsitektur normal dari katup mitral digantikan oleh kolagen fibroblas dan pembentukan neocapillary. Stenosis mitral dapat ditemukan bersamaan dengan regurgitasi, hanya 10% dari penyakit katup mitral rematik yang murni tidak berhubungan dengan stenosis. Lesi yang mendasari dari regurgitasi mitral adalah fibrosis yang meretraksi bagian katup mitral yang menyebabkan hilangnya koaptasi daun katup. Dilatasi anulus katup mitral yang sekunder menyebabkan kurangnya kontak antara daun katup mitral. Banyak pasien dengan PJR dengan multi valvular heart disease, dimana penatalaksanaannya sesuai dengan identifikasi lesi dan lokasi katup mana yang dominan. Lesi katup yang proksimal dapat menutupi gejala dari lesi katup yang distal, seperti tanda dari volume overload dari ventrikel kiri oleh karena regurgitasi aorta dapat ditutupi oleh stenosis mitral yang signifikan, oleh karena obstruksi pengisian ventrikel kiri. Kombinasi antara stenosis mitral dan regurgitasi trikuspid biasanya sekunder disebabkan oleh hipertensi pulmonal dan dilatasi ventrikel kanan.4,10,11
Atrial fibrilasi (AF) sering terjadi pada pasien dengan kelainan katup terutama mitral stenosis. Hal ini dikarenakan dilatasi atrium kiri sebagai akibat dari obstruksi katup dan juga oleh karena inflamasi dan perubahan fibrosis yang disebabkan oleh proses rematik. Pada awalnya AF bersifat episodik dan paroksismal, namun kemudian cenderung untuk menjadi persisten. Dengan adanya AF, didapati hilangnya kontribusi atrium pada pengisisan ventrikel kiri dan sebagaimana pengurangan curah jantung sebesar 30%. Dalam kondisi ini, potensial untuk terjadinya peningkatan tiba-tiba dari tekanan atrium kiri, terutama pada kondisi rapid ventricular rate yang menyebabkan penurunan waktu pengisian diastolik secara kritis dan hal ini memacu peningkatan risiko yang berhubungan dengan thromboemboli. Diantara lesi katup yang didapat lainnya, stenosis mitral menempati risiko tertinggi untuk thromboemboli sistemik. Angka kejadian embolisasi sistemik, termasuk stroke, diantara pasien dengan penyakit katup mitral rematik berkisar antara 1,5-4,7 per tahun. Kejadian ini menigkat dengan terjadinya onset AF, dan lebih tinggi pada pasien dengan dengan stenosis mitral dibandingkan dengan murni hanya regurgitasi mitral. Pasien yang pernah menderita thrombus berisiko tinggi untuk yang berikutnya, terutama dalam enam bulan pertama.4,12
Penatalaksanaan reaktivasi pada PJR sama seperti DR, oleh karena reaktivasi merupakan adanya infeksi berulang dari kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A. Penatalaksanaan DR terdiri dari penatalaksanaan umum, terapi antimikroba dalam rangka eradikasi kuman streptokokus, menekan proses inflamasi, mencegah berulangnya serangan DR, mencegah adanya gejala sisa yang berat pada jantung, dan meningkatkan kualitas kemampuan jantung serta kualitas hidup penderita. Penatalaksanaan umum mencakup rawat inap di rumah sakit, hal ini bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis DR, untuk tatalaksana yang adekuat dan edukasi pasien dan keluarga. Pemeriksaan awal yang seharusnya dilakukan adalah kultur tenggorokan, pengukuran kadar antibodi terhadap kuman streptokokus, penilaian reaktan fase akut, foto thorax, elektrokardiografi, dan ekokardiografi. Kultur darah membantu menyingkirkan diagnosa infektif endokarditis. Pasien dengan DR akut tirah baring dan pemantauan ketat untuk carditis. Pada pasien dengan carditis, dianjurkan tirah baring minimal empat minggu. Pasien dengan korea sebaiknya ditempatkan di lingkungan yang protektif agar tidak melukai dirinya.4,5
Eradikasi infeksi kuman streptokokus pada tenggorokan terutama untuk mencegah pemaparan berulang dari antigen streptokokus secara kronik. Secara ideal, diperlukan dua kali kultur hapusan tenggorokan sebelum memulai terapi antibiotik. Bagaimanapun, terapi antibiotik dianjurkan walaupun hasil kultur hapusan tenggorokannya negatif. Terapi antibiotik tidak mempengaruhi lama, frekuensi dan keparahan kelainan jantung yang diakibatkan. Eradikasi ini harus diikuti profilaksis sekunder jangka panjang untuk mencegah terjadinya infeksi streptokokus pada tenggorokan secara berulang. Antibiotik terapi yang efektif untuk eradikasi kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A dari saluran pernafasan atas dan untuk pencegahan DR adalah dimulai dalam sembilan hari setelah timbulnya gejala. Tidak ada kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A yang secara klinis terisolasi, yang resisten terhadap penicilin. Oleh kareana alasan tersebut, dan dikarenakan peniciln tidak mahal dan tersedia di banyak negara, penicillin menjadi drug of choice untuk mengeradikasi kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A. Penicillin oral (Penicillin V atau Penicillin G) diberikan penuh 10 hari. Suntikan benzathin penicillin intramuskular dapat diberikan pada pasien yan tidak patuh minum antibiotik oral. Sefalosorin generasi pertama juga dapat digunakan. Tetrasiklin dan sulfa kontraindikasi pada pencegahan primer DR oleh karena resistensi. Pada pasien yang alergi terhadap penicilin, golongan makrolid erythromycin direkomendasikan.3,4
Pencegahan sekunder perlu diberikan pada pasien-pasien dengan serangan DR sebelumnya atau pasien yg dapat ditegakkannya diagnosis PJR. Pencegahan sekunder ini merupakan pemberian antibiotik spesifik pada secara berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk mencegah kolonisasi dan infeksi dari kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A pada saluran pernapasan atas dan berulangnya serangan DR. Strategi paling efektif dalam mencegah serangan DR adalah pemberian suntikan intramuskular Benzathin Penicillin setiap tiga minggu (setiap empat minggu pada area dan pasien berisiko rendah). Penicillin oral dapat digunakan sebagai alternatif terapi, tetapi kendalanya adalah ketidakpatuhan pasien dalam memakan obat oral selama bertahun-tahun. Serangan berulang DR lebih banyak terjadi pada pasien dengan pada rejimen oral dibandingkan intramuskular. Untuk pencegahan sekunder penicillin merupakan drug of choice. Pada pasien yang alergi atau dicurigai alergi terhadap penicillin, sulfadiazine atau sulfasoxazole oral merupakan terapi pilihan kedua yang optimal. Pada pasien yang alergi terhadap penicillin dan sulfa maka erythromicin oral dapat digunakan. Durasi pemberian antibiotik dalam rangka profilaksis sekunder dapat bervariasi pada masing-masing pasien, tergantung dari risiko berulangnya DR. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berulangnya DR adalah: usia pasien, adanya PJR, waktu berulangnya DR dari serangan DR terakhir, jumlah serangan DR sebelumnya, derajat kepadatan dalam keluarga, riwayat keluarga DR/PJR, status sosialekonomi dan pendidikan dari pasien, risiko infeksi streptokokus pada daerah tersebut, kemauan pasien untuk menerima suntikan antibiotik, pekerjaan dan tempat bekerja pasien. Pada pasien dalam kasus ini, dikarenakan ditemukannya kelainan katup yang berat (severe), maka pemberian antibiotik profilaksis diberikan seumur hidup.3,4
Penanganan AF pada pasien dengan penyakit jantung katup harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Penyebab lain yang dapat mencetuskan AF seperti demam, anemia, dan tirotoksikosis harus diidentifikasi dan diterapi. Pada pasien dengan stenosis mitral, risiko untuk terjadinya tromboemboli sistemik sangat tinggi, terutama dengan AF paroksismal atau persisten, atau adanya riwayat emboli sebelumnya. Anticoagulasi warfarin direkomendasikan dengan target INR 2-3. Jika terjadi embolisasi maka target INR 2,5-3,5 dan atau dengan penambahan aspirin dosis rendah (75-100mg per hari). Menurunkan respon ventrikel dan pemberian diuretik dapat mengembalikan pasien ke keadaan klinis yang stabil. Obat-obatan yang bermanfaat ntuk menurunkan respon ventrikel adalah beta-blockers, non-dihydropiridine calcium channel antagonist (diltiazem, verapamil) dan digoxin.4,12
Pembedahan biasanya dilakukan pada PJR kronik. Pembedahan jarang dilakukan pada DR akut. Terapi pembedahan tergantung keparahan gejala pasien, dan ada tidaknya kelainan fungsi jantung yang signifikan. Hal ini khususnya untuk mencegah kerusakan ventrikel kiri yang irreversible, hipertensi pulmonal yang irreversible, mempengaruhi hasil jangka panjang dan memunculkan hal-hal yang kontraindikasi pembedahan. Sebelum pembedahan, ekokardiografi merupakan alat diagnosik yang sangat penting dalam penilaian maupun follow up pada kelainan katup. Dari beberapa penelitian yang ada, dapat disimpulkan, bahwa pembedahan dapat secara aman dilakukan pada masa karditis aktif dan pada kasus karditis aktif yang refrakter, tetapi sebaiknya pembedahan dilakukan setelah penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Inflamasi miokard tidak begitu mempunyai peran yang signifikan dalam patologi klinis karditis aktif. Valve repair pada karditis aktif juga bukan merupakan pilihan pembedahan yang terbaik jika ditemukannya inflamasi katup jantung, dikarenakan tingginya angka reoperasi pada valve repair. Oleh karena adanya regurgitasi mitral yang berat, stenosis mitral yg moderate disertai regurgitasi aorta yang moderate, maka pilihan pembedahan pada pasien ini adalah double valve replacement.4,11


Kesimpulan

Reaktivasi adalah berulangnya infeksi kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A pada DR/PJR. DR dan PJR merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang, termasuk Indonesia. Angka kejadian yang tercatat di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 1000 anak berusia 5-15 tahun berdasarkan data terakhir tahun 1981-1990. Seringnya infeksi berulang (reaktivasi) dapat memperburuk komplikasi DR dari serangan yang pertama kali.
Penegakan diagnosa reaktivasi pada PJR berdasarkan revisi kriteria Jones pada tahun 2002-2003 oleh WHO. Pada pasien ini dikategorikan dalam demam rematik berulang dengan penyakit jantung rematik, dengan ditemukannya kriteria 2 minor ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus grup A.
Penatalaksanaan reaktivasi pada PJR sama seperti DR akut, oleh karena reaktivasi merupakan adanya infeksi berulang dari kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A. Hal ini terdiri dari penatalaksanaan umum, terapi antimikroba dalam rangka eradikasi kuman streptokokus, menekan proses inflamasi, mencegah berulangnya serangan DR, mencegah adanya gejala sisa yang berat pada jantung, dan meningkatkan kualitas kemampuan jantung serta kualitas hidup penderita.
Pencegahan sekunder perlu diberikan pada pasien-pasien dengan serangan DR sebelumnya atau pasien yg dapat ditegakkannya diagnosis PJR. Tujuannya adalah untuk mencegah kolonisasi dan infeksi dari kuman streptokokus beta-hemolitikus grup A pada saluran pernapasan atas dan berulangnya serangan DR.
Penanganan reaktivasi pada PJR dapat dilakukan dengan sebaik mungkin didukung oleh alat diagnostik yang memadai seperti laboratorium dan ekokardiografi. Pemantauan dan edukasi pasien yang optimal diperlukan dalam terapi, berhubungan dengan kepatuhan pasein minum obat dalam jangka waktu lama serta pemantauan kerja obat seperti antikoagulan. Optimalisasi dalam penatalaksanaan dan pemantauan diharapkan dapat mencegah menyebar luasnya kuman streptokokus dan mencegah reaktivasi pada penderita.

2 komentar: