oleh: dr. Anggia C Lubis
Pendahuluan
Sejak pertama kali ditemukan pada sekumpulan pria homoseksual pada 1981 infeksi human immunodeficiency virus (HIV) terus berkembang menjadi penyakit pandemik yang melibatkan berbagai organ, termasuk sistem kardiovaskular. Kondisi ini dapat dibabkan oleh virus HIV secara langsung maupun infeksi oportunistik yang memeperberatnya. Kaposi Sarkoma merupakan keterlibatan jantung pada HIV yang pertama ditemukan, sementara penyakit jantung koroner prematur pada penderita HIV menjadi fokus perhatian belakangan ini. 1-3
Penderita HIV dapat memiliki berbagai manifestasi terhadap jantung, sebelum era HAART kelainan yang paling sering ditemui antara lain kardiomiopati, pankarditis, hipertensi pulmonal, gangguan sistem konduksi dan infiltrasi neoplasma. Setelah memasuki era HAART, usia hidup penderitanya semakin panjang, di Amerika Serikat angka kematian turun hingga 47%, meski begitu hanya 1 diantara 5 penderita yang membutuhkan terapi HAART memiliki akses untuk memperolehnya. Pasca era HAART muncul manifestasi kardiovaskular baru yang tidak dijumpai sebelum era HAART, seperti hipertensi, kelainan metabolik, dan atherosclerosis yang dipercepat, termasuk penyakit jantung koroner. Pada tahun 2005 diperkirakan 38,6 juta orang dewasa dan anak terinfeksi HIV, dengan prevalensi manifestasi jantung berkisar antara 28% hingga 73%. 1, 3-5
Kelainan Perikard
Perikarditis dan efusi perikard merupakan komplikasi HIV yang paling sering ditemukan pada jantung, dengan prevalensi dari studi autopsi dijumpai sebanyak 37 %, sementara berdasarkan ekokardiografi sebesar 59 %, dengan insidens 11 % tiap tahunnya. Berbagai variasi manifestasi klinis dapat ditimbulkan, efusi perikard tanpa gejala, perikarditis, tamponade maupun perikarditis konstriktiva. Etiologi dari efusi perikard hingga kini masih belum jelas, dapat dihubungkan dengan infeksi HIV ataupun infeksi oportunistik, kelainan metabolik, ataupun keganasan, dan biasanya penyebab tidak dapat ditegakkan. Sebuah studi yang menggunakan gabungan autopsi dan ekokardiografi terhadap 1139 pasien HIV, didapati pada penderita dengan efusi perikard yang tidak disertai gejala, dua pertiga diantaranya disebabkan infeksi atau keganasan, sementara sepertiga lainnya tidak dapat ditegakkan penyebabnya. Efusi juga dapat merupakan bagian dari sindroma kebocoran kapiler, yang juga melibatkan lapisan pleura dan peritoneal, yang disebabkan peningkatan produksi cytokine pada infeksi tahap lanjut. 1, 3, 5-8
Efusi perikard merupakan prediktor mortalitas yang independen dari kadar CD 4. Meski mayoritas efusi perikard tidak disertai gejala, angka mortalitas pada 6 bulan sebesar 62 %, dibandingkan 7 % penderita tanpa efusi perikard. Pada penderita dengan efusi perikard minimal yang tidak disertai dengan gejala, diperlakukan secara konservatif dengan ekokardiografi serial tanpa tindakan diagnostikataupun terapeutik khusus, dengan perbaikan spontan didapati pada 13 - 42 % penderitanya.
Tabel 1. Penyebab Efusi Perikard pada penderita infeksi HIV 7
Tetapi bila dijumpai adanya tamponade, dibutuhkan intervensi segera. Flum dkk. melaporkan 29 pasien yang menjalani tindakan bedah pericardial window, dan hanya 2 pasien yang menunjukkan perbaikan secara klinis, dan mortalitas 8 minggu setelah intervensi sebesar 69 %. Secara umum direkomendasikan pada penderita dengan efusi perikard luas dan etiologi yang belum dapat ditegakkan, dapat diterapi secara empiris untuk tuberculosis. Dan untuk pericarditis tuberculous dapat diberikan prednisone selama satu bulan, untuk mempercepat perbaikan dan menurunkan mortalitas.1, 4, 6, 8, 9
Gambar 1. Prevalensi Efusi Perikard dihubungkan dengan HIV. Garis vertikal menunjukkan diperkenalkannya terapi HAART sebagai pengobatan infeksi HIV.9
Kelainan Miokard
Pada 1986 Cohen dkk. melaporkan 3 kasus AIDS dengan gambaran klinis, ekokardiografi dan morfologi yang sesuai dengan kardiomiopati dilatasi. Barbaro dkk kemudian melalui sebuah studi prospektif terhadap 952 penderita HIV asimtomatik selama ± 60 bulan menggunakan ekokardiografi, mampu mendiagnosa kardiomiopati dilatasi pada 8 % pasien, dengan angka kejadian 15.9 per 1000 pasien setiap tahunnya. Laporan-laporan selanjutnya menunjukkan angka keterlibatan yang bervariasi bergantung dengan metode yang dipergunakan. Gangguan fungsi ventrikel yang terjadi meliputi fungsi sistolik ventrikel kiri, fungsi diastolik ventrikel kiri dan fungsi sistolik ventrikel kanan. 3,7,8
Berbagai macam teori telah dikembangkan untuk menjelaskan. Infeksi miokard (miokarditis) merupakan etiologi yang paling banyak ditemukan dan dipahami, baik infeksi dari virus HIV sendiri ataupun oleh infeksi oportunistik lainnya. Barbaro dkk. melakukan biopsi miokard terhadap penderita kardiomiopati dilatasi pada HIV dan mendapatkan gambaran miokarditis pada sebesar 83 %. Biopsi endomiokard yang dilakukan Herskowitz dkk. terhadap 37 penderita HIV yang mengalami disfungsi ventrikel kiri global yang tidak bisa dijelaskan (28 diantaranya dengan gagal jantung NYHA III – IV), berhasil menemukan 21 penderita dengan miokarditis dan menyimpulkan miokarditis berperan penting dalam patogenesa kardiomiopati pada HIV. 3, 5-7, 9, 15
Berbagai penyebab lainnya adalah perubahan metabolik atau endokrin, cytokine, immunodefisiensi, obat-obatan dan sistem autoimmun. Infeksi HIV juga meningkatkan produksi sitokin (TNF, interleukin-1, interleukin-2, alfa-interferon) yang akan mengubah homeostasis kalsium intra-seluler dan meningkatkan produksi nitric oxide, mengubah faktor pertumbuhan-beta dan regulasi endothelin-1. Kadar nitric oxide yang tinggi secara eksperimental menimbulkan efek inotropik negatif dan bersifat sitotoksik terhadap miosit. 3,5
Gambar 2. Mekanisme kardiomiopati pada HIV. 9
Defisiensi nutrisi yang lazim ditemui pada penderita HIV (terutama pada stadium lanjut), dikatakan turut berperan dalam terjadinya disfungsi miokard. Absorpsi yang buruk serta diare menyebabkan gangguan elektrolit dan defisiensi nutrisi. Defisiensi elemen-elemen penting ini kemudian dihubungkan dengan terjadinya kardiomiopati. Analisa wall motion pada ekokardiografi Doppler 2-dimensi ditemukan abnormal pada 8 dari 14 penderita dengan defisiensi nutrisi. Teori ini selanjutnya dikonfirmasi dengan membaiknya fungsi ventrikel kiri dan kardiomiopati pada penderita dengan defisiensi Selenium setelah dilakukan subsitusi Selenium.3,5,9
Perubahan fungsi yang terjadi dapat melibatkan baik fungsi sistolik maupun fungsi diastolik ventrikel, dengan prevalensi disfungsi diastolik yang melebihi disfungsi sistolik. Mayoritas disfungsi ventrikel kiri justru tanpa gejala, terutama pada penderita infeksi tahap lanjut dan kadar CD 4 lebih rendah, dengan prevalensi disfungsi sistolik ventrikel kiri pada kelompok usia 35 – 44 tahun kurang dari 1 %. Hanya 8 % dari penderita kardiomiopati dilatasi pada penderita HIV yang disertai dengan gejala. 1, 8, 15, 16, 24 Disfungsi ventrikel dan kardiomipati dilatasi yang ditemui pada penderita HIV sudah mulai terjadi sebelum infeksi HIV memasuki tahapan lanjut, tetapi perubahan fungsi ini biasanya terjadi pada tahapan infeksi yang lebih lanjut. 1, 5, 13 Pemahaman lebih mendalam tentang kondisi disfungsi ventrikel kiri juga menunjukkan bahwa pada beberapa kondisi dapat bersifat reversibel. 6, 16
Penurunan fungsi ventrikel secara langsung juga mempengaruhi mortalitas, tanpa memandang kadar CD 4, usia, jenis kelamin dan resiko HIV lainnya. Mortalitas penderita HIV dengan kardiomiopati lebih tinggi dibandingkan penderita HIV tanpa kardiomiopati maupun penderita kardiomiopati tanpa HIV. Currie PF dkk. menemukan pebedaan bermakna pada berbagai kadar CD 4 dan fungsi jantung, median survival AIDS terhadap kematian untuk penderita dengan disfungsi ventrikel adalah 101 hari, dibandingkan dengan 472 hari pada penderita dengan tahapan infeksi yang sama dan fungsi jantung normal, dengan hazard ratio yang disebabkan gagal jantung sebesar 5.86. Penemuan Barbaro dkk. selanjutnya mengkonfirmasi buruknya pengaruh disfungsi ventrikel, penurunan fungsi ventrikel yang disertai dengan gagal jantung merupakan pertanda yang sangat buruk, dengan sekitar setengah penderitanya meninggal dalam 6 bulan hingga 1 tahun. 3, 5, 8, 9
Gambar 3. Kiri: Kurva survival 296 penderita terinfeksi HIV dengan struktur jantung normal, kardiomiopati dilatasi, disfungsi ventrikel kiri dan disfungsi ventrikel kanan. Kanan: Waktu hingga kematian pada 81 penderita HIV dengan kadar CD 4 kurang dari 20 x 106 sel / mm3
Endokarditis
Infektif Endokarditis (IE) memiliki prevalensi sebesar 6.4 % - 34 % pada penderita HIV, dan tidak berhubungan dengan regimen HAART. Angka insidens-nya sama besar pada penderita HIV maupun tanpa HIV, dan setelah ditemukannya HAART insidens berkurang dari 20.5 menjadi 6.6 per 1000 pasien tiap tahunnya. Pada negara berkembang angka insidens didapati lebih tinggi (10% - 15%). Pengguna obat intravena merupakan resiko terbesar untuk IE, dengan lokasi vegetasi paling sering ditemukan pada katup tricuspid, dan menyebabkan kematian terhadap 5 – 10 % penderitanya. Cicalini dkk. melaporkan dijumpai 108 episode IE pada 105 penderita infeksi HIV, dan 94.3 % merupakan pengguna obat intravena.1, 5, 8, 9
Manifestasi klinis yang ditampilkan dan angka survival sama seperti penderita tanpa infeksi HIV (85 % versus 93 %), kecuali pada infeksi HIV tahap lanjut yang memliki mortalitas 30 % lebih tinggi dibandingkan asimptomatik HIV. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab terbanyak (lebih dari 75 % kasus), diikuti oleh Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza dan Candida albicans. IE bertanggung jawab terhadap Bagaimanapun manajemen dari IE tidak berbeda dari penderita tanpa infeksi HIV. Endokarditis nonbacterial (marantic endocarditis) dijumpai pada 3% - 5% penderita HIV, terutama penderita dengan sindrom wasting. Ditandai dengan vegetasi endokard yang membeku. 1, 5, 6
Gambar 4. Kiri: Vegetasi yang melekat pada katup mitral anterior, terdeteksi menggunakan ekokardiografi trans-esophageal. Kanan: Vegetasi yang melekat pada katup aorta 9
Kelainan Pembuluh Darah
Penyakit Jantung Koroner
Sebelum memasuki era HAART, hubungan antara penyakit jantung koroner dengan infeksi HIV telah coba dihubungkan melalui peran cytomegalovirus ataupun HIV itu sendiri, meski begitu teori ini masih belum jelas dan lebih bersifat kontroversial. Pada tahun 1998, 2 kasus penyakit jantung koroner yang premature untuk pertama kali dilaporkan pada 2 orang lelaki muda yang menerima terapi HAART, terutama PI. Penggunaan HAART berhasil memperpanjang survival penderitanya, tetapi berbagai kompliaksi metabolik juga turut menyertai, hal inilah yang menjadi fokus perhatian berhubungan dengan kemungkinan meningkatnya resiko kardiovaskular. 6, 8, 17
Sebuah studi retrospektif selama periode 1993 – 2001 terhadap 36 766 penderita HIV, menunjukkan tidak didapati peningkatan kejadian kardiovaskular ataupun cerebrovaskular pada penderita dalam terapi HAART yang diikuti selama 40 bulan. Hasil yang serupa juga diperoleh pada sebuah meta-analisis dari 30 studi klinis acak, dengan angka kejadian dari penggunaan PI tidak lebih tinggi dibandingkan penggunaan nucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NRTI); bagaimanapun kelemahan dari studi ini adalah masa penggunaan terapi yang singkat (1 tahun) dan angka kejadian yang rendah. Penemuan selanjutnya merubah pendapat sebelumnya, di mana frekuensi infark miokard meningkat setelah dipergunakannya PI. Studi selanjutnya terhadap 23 468 penderita HIV yang sudah mengkonsumsi ARV selama rerata 1.9 tahun diikuti selama 1.6 tahun, dan didapati kesimpulan semakin lama konsumsi kombinasi ARV akan meningkatkan resiko infark miokard. Secara menyeluruh, penelitian-penelitian ini mengasumsikan resiko terjadinya infark miokard meningkat pada penderita HIV yang mengkonsumsi PI, dan resiko ini semakin meningkat seiring bertambahnya durasi penggunaan. Angka kejadian pada studi ini masih tergolong rendah, tetapi diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya usia populasi penderita HIV. 6, 17
Tabel 2. Berbagai macam penelitian yang membandingkan angka kejadian koroner pada penggunaan dan tanpa penggunaan protease inhibitor (PI).17
Resiko kejadian kardiovaskular yang ditimbulkan penggunaan terapi HAART tertutupi oleh manfaat yang diperoleh, sehingga tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan terapi. Penderita yang sudah memiliki faktor resiko kardiovaskular sebelumnya ataupun riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya sindroma koroner akut. Sebuah studi retrospektif berhasil mengungkap angka kejadian infark miokard meningkat hingga 4 kali lipat setelah memasuki era HAART dibandingkan periode sebelumnya. Bila terjadi suatu sindrom koroner akut, skor TIMI biasanya rendah, dan seperti populasi umum kebanyakan hanya satu pembuluh darah koroner. 6,8, 17
Intervensi koroner perkutaneous menunjukkan hasil jangka pendek yang sangat baik, bagaimanapun tingkat restenosis lebih tinggi dibandingkan penderita tanpa infeksi HIV. Sebuah studi mendapatkan terjadi restenosis pada 15 dari 29 subjek HIV dibandingkan 3 dari 21 subjek non-HIV (52 % vs 14 %; p=0.006). Studi lainnya oleh Matezky dkk. juga menunjukkan angka restenosis yang memerlukan revaskularisasi pada 6 dari 14 penderita HIV dibandingkan 4 dari 38 kontrol yang non-HIV (43% vs 11%; p=0.02). Angka restenosis tinggi baik pada prosedur balon angioplasty maupun pemasangan stent, dan belum didapati data mengenai penggunaan stent bersalut obat. Untuk operasi CABG, didapati sebuah studi pada 37 penderita HIV yang diikuti selama rerata 28 bulan, didapati angka bebas kejadian sebesar 81 % pada 3 tahun. Data yang mengejutkan dari studi ini adalah median usia penderita yang dilakukan operasi adalah 44 tahun. Hingga saat ini belum didapati studi mengenai patensi graft CABG pada penderita HIV.17
Hipertensi Pulmonal
Hubungan antara HIV dan hipertensi pulmonal pertama kali dijabarkan oleh Kim dkk. pada 1987. Angka kejadian hipertensi pulmonal pada HIV yang sebesar 0.5 %, 2500 kali lebih besar dibandingkan populasi umum, dan dijumpai pada 10 % dari penderita HIV dengan komplikasi kardiovaskular. Faktor resiko yang dihubungkan adalah pengguna obat-obatan intra-vena, infeksi paru berulang, tromboemboli vena dan disfungsi ventrikel kiri. Bagaimanapun banyak dijumpai kasus yang tidak memiliki resiko hipertensi pulmonal selain infeksi HIV itu sendiri.3, 7, 8, 17
Patofisiologi dari kondisi ini masih belum jelas, dan tidak diperoleh bukti bahwa virus HIV secara langsung menginfeksi endothel arteri pulmonalis. Usaha untuk mendeteksi HIV atau protein-nya pada jaringan paru menggunakan electron microscopy, immunohistochemical ataupun tehnik molekular tidak berhasil membuktikannya. Peran HIV secara tidak langsung melalui pelepasan sitokin juga sudah diajukan. Penemuan histopatologi pada hipertensi pulmonal pada HIV serupa dengan yang dijumpai pada populasi tanpa HIV. Hubungan langsung antara kadar CD 4 dengan terbetuknya serta perburukan dari hipertensi pulmonal tidak terbukti. 7, 8
Gejala klinis, penampakan klinis dan hasil dari studi diagnostik menunjukkan gambaran yang sama seperti hipertensi pulmonal tanpa HIV, dispneu yang progresif merupakan gejala yang paling sering ditemui. Pengobatan hipertensi pulmonal pada HIV juga serupa dengan pengobatan standar. Efek dari terapi anti retro-viral pada hipertensi pulmonal masih controversial, beberapa studi menunjukkan manfaat sementara beberapa lainnya menunjukkan hasil berbeda. Penampilan klinis yang memberat dengan terapi anti retro-viral juga pernah dilaporkan. Angka survival pada 1, 2 dan 3 tahun sebesar 73%, 60% dan 47%, sementara pada NYHA fc III – IV dengan survival yang lebih buruk 60%, 45% dan 28%. 3, 8, 17
Penyakit Arteri Perifer
Pada populasi umum, penyakit arteri perifer merupakan sebuah penyakit yang dihubungkan dengan faktor resiko kadiovaskular tradisional, seperti merokok, diabetes, hipertensi dan hiperkolesterolemia. Pada kondisi HIV, pemahaman masih sangat terbatas. Sebuah studi terhadap 92 penderita HIV, menggunakan kuesioner dan pengukuran indeks tekanan darah sistolik ankle-brachial (ABI) pada saat istirahat dan setelah latihan. Berdasarkan kuesioner didapatkan 15 % penderita dengan klaudikasio, dan berdasarkan ABI didapatkan 16 pasien dengan ABI yang tidak normal, hasil pada 16 pasien tersebut dikonfirmasi adanya atherosclerosis dengan menggunakan scanning duplex. Usia, diabetes, merokok dan kadar CD 4 yang rendah didapatkan sebagai prediktor independen. Bagaimanapun pada studi lainnya terhadap 91 penderita HIV dengan minimal 2 resiko kardiovaskular, didapatkan prevalensi yang lebih rendah. 4
Trombosis Vena
Laporan kejadian thrombosis vena dalam terus meningkat, dan didapati fakta bahwa pada penderita HIV dijumpai gangguan koagulasi, yang dapat menyebabkan prothrombotic state. Mesi kebanyakan perubahan yang dipaparkan adalah sitopenia (anemia, nutropenia dan trombositopenia), ternyata didapati juga peningkatan protein S, defisiensi kofaktor II heparin dan plasminogen activator inhibitor type 1.
Studi observasi yang dilakukan terhadap 42,935 penderita HIV selama 2,4 tahun mendapatkan angka kejadian thrombosis sebesar 2,6 per 1000 tahun-orang, faktor yang berpengaruh secara signifikan penyakit oportunistik, rawat inap dan usia lanjut. Studi lainnya terhadap 4752 penderita HIV/AIDS mendapati kejadian thrombosis vena dalam 10 kali lipat lebih besar dibandingkan populasi umum. Penelitian retrospektif pada 131 penderita infeksi HIV selama 5 tahun, mendapatkan 10 kejadian thrombosis vena dalam, dan 9 diantaranya dengan kadar CD 4 < 200 sel/micL. Secara menyeluruh, abnormalitas hasil laboratorium yang paling banyak ditemui adalah defisiensi protein S bebas (60 %), diikuti dengan peningkatan konsentrasi faktor VIII (41%), konsentrasi fibrinogen yang tinggi (22%) dan defisiensi protein C (9%). 4, 18
Hipertensi
Prevalensi hipertensi pada penderita HIV didapati sebesar 20 % - 25 % sebelum memasuki era HAART. Laporan terkini pada era HAART menunjukkan peningkatan tekanan darah berhubungan dengan penggunaa terapi protease inhibitor (PI) yang memicu lipodistrifi dan sindroma metabolik, dengan prevalensi sebesar 74 %. Hipertensi sistemik pada penderita HIV secara signifikan mempengaruhi resiko kardiovaskular premature: bila dibandingkan dengan penderita HIV normo-tensi, penderita hipertensi memiliki frekuensi penyakit jantung koroner lebih tinggi (16.1 % vs 1.3 %) dan angka kejadian infark miokard lebih tinggi (8.1 % vs 0.7 %). 6, 18
Long QT Syndrome (LQTS)
Pemanjangan dari interval QT (long QT syndrome) dan Torsade de Pointes (TdP) telah dijabarkan pada penderita infeksi HIV, meski penderita tidak dalam pengaruh obat-obatan. Pada salah satu studi didapatkan prevalensi LQTS sebesar 29 % pada penderita HIV rawat inap. Hepatitis C sendiri yang juga memperpanjang QT interval, bila disertai dengan infeksi HIV akan melipat gandakan resiko pemanjangan interval QT yang disertai gejala. Resiko pemanjangan interval QT sebesar 16 % pada penderita HIV, dan 30 % pada penderita HIV disertai infeksi hepatitis C. Mekanisme yang masih berkembang sebagi penyebabnya termasuk miokarditis, kardiomiopati sub-klinis dan neuropati autonomis.3,4
Tumor Jantung
Terdapat dua tipe neoplasma malignan yang dijumpai pada jantung penderita HIV: Sarcoma Kaposi dan limfoma malignan.
Kaposi Sarcoma
Pada tahun 1983, Autran dkk untuk pertama kali melaporkan Kaposi Sarcoma pada penderita HIV. Kaposi Sarcoma pada jantung biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan autopsy, dan jarang karena gejala yang melibatkan jantung. Berdasarkan studi autopsi retrospektif didapatkan insidens sebesar 12 % hingga 28 %, tetapi keterlibatan ini jarang dihubungkan dengan tumor jantung primer. Sarcoma Kaposi pada HIV dapat melibatkan miokardium, pericardium dan penemuan klasik efusi perikard. Gejala spesifik yang dapat ditimbulkan berhubungan dengan efusi perikard, dengan cairan perikard yang serosanguineous, dan tidak dijumpai sel malignan atau infeksi. Penanganan Kaposi Sarcoma cukup sulit, meski kebanyakan penderita meninggal lebih karena status imun yang menurun daripada keganasan itu sendiri.1, 3, 6-8
Limfoma Malignan
Limfoma non-hodgkin dijumpai 25 – 60 kali lebih banyak pada penderita HIV dibandingkan populasi umum. Manifestasi yang ditimbulkan seperti gagal jantung atau aritmia ventrikel yang dapat disebabkan infiltrasi difus dinding ventrikel atau yang lebih jarang lagi obstruksi mekanis dari katup. Penggunaan kemoterapi dan radiasi biasanya bermanfaat, tetapi secara umum prognosis penderitanya buruk. Semenjak dipergunakannya HAART kejadian Kaposi sarcoma dan limfoma berkurang, hal ini diperkirakan karena perbaikan dari status imunologis dan pencegahan dari infeksi oportunistik. 1, 3, 6-8
Gambar 5. Prevalensi keterlibatan tumor jantung pada penderita HIV dalam periode 1995 – 2005. Garis vertikal menunjukkan dimulainya penggunaan terapi HAART.9
Kelainan Metabolik
Sebelum memasuki era HAART, kelainan metabolik seperti hipertrigliserid dan rendahnya high-density lipoprotein (HDL) sudah dijumpai pada penderita infeksi HIV, tetapi yang menarik peningkatan kadar low-density lipoprotein (LDL) dan total kolesterol baru dijumpai setelah memasuki era HAART, terutama pada penggunaan terapi protease inhibitor (PIs). Penggunaan terapi PIs dalam HAART selanjutnya diketahui memberikan pengaruh peningkatan kejadian metabolik (hiperlipidemia, resistensi insulin) dan somatik (lipodistrofi / lipoatrofi), perubahan yang pada populasi umum meningkatkan resiko kejadian kardiovaskular.1,9
Tabel 3. Penampilan klinis penderita HIV yang berhubungan dengan syndrome lipodistrofi 19
Patogenesis HIV – Dislipidemia
Dua mekanisme dihubungkan dengan terjadinya dislipidaemia pada penderita HIV, yang pertama adalah viraemia HIV. Dilipidaemia yang disebabkan viraemia ditandai dengan penurunan konsentrasi plasma kolesterol total, LDL dan HDL, yang selanjutnya diikuti dengan peningkatan trigliserida. HIV yang menyebabkan dislipidemia sangat mirip dengan yang terjadi pada infeksi kronis, peningkatan interferon α pada HIV lanjut berhubungan dengan peningkatan trigliserida. Tumour necrosis factor (TNF) α yang meningkat pada penderita HIV yang belum diterapi juga mengambil peran, terlebih lagi kadarnya yang meningkat selama terjadi infeksi oportunistik. TNF α akan berinteraksi dengan metebolisme asam lemak bebas dan oksidasi lemak, sehingga mempercepat proses liposisis. Status nutrisi yang kurang pada penderita HIV, termasuk penurunan berat badan dan kekurangan protein juga berkontribusi dalam penurunan kolesterol total, HDL dan LDL. 19
Mekasnisme kedua adalah antiretroviral yang memicu dislipidemia, mekanisme kompleks yang melibatkan perubahan hormonal dan imunologis dan juga dipengaruhi oleh predisposisi genetik. Beberapa studi menunjukkan reistensi insulin mendahului terjadinya lipodistrofi, yang memnerikan asumsi bahwa resistensi insulin-lah yang faktor terpenting dalam sindrom metabolik. PI terbukti mempengaruhi glucose transporter (GLUT), yang memiliki peran penting dalam homeostasis glucose. Homeostasis lemak pada penderita HIV tidak normal, dengan peningkatan sekresi very-low density lipoprotein cholesterol (VLDL) dan penurunan pembuangannya. Sebagai tambahan PI juga meningkatkan kadar trigliserida.9,19,20
Gambar 6. Patofisiologi HAART menyebabkan sindroma metabolik
Hingga saat kini belum didapati studi prospektif, double-blinded, dan acak yang membuktikan keuntungan kardiovaskular dari penurunan lemak secara agresif, karenanya rekomendasi untuk evaluasi dan pengobatan hingga saat ini masih mengikuti anjuran dari National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III. Bagaimanapun terapi PI merupakan pilihan yang penting dalam penatalaksanaan infeksi HIV, masalah yang mungkin ditimbulkan adalah obat ini dimetabolisme oleh cytochrome P450 CYP4-A pada hepar, sehingga penggunaan terapi lainnya yang dimetabolisme pada tempay yang sama harus dengan pertimbangan. Pada sebuah studi terhadap 45 penderita HIV yang mengkonsumsi PI, dan mengalami peningkatan abnormal lemak, dan dilakukan tatalaksana mengikuti National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III. Setelah penggunaan PI kadar kolesterol meningkat dari 170 mg/dL ke 289 mg/dL dan setelah pengguanaan gemfibrozil tunggal atau dikombinasikan dengan atorvastatin turun hingga 201 mg/dL (p=0,01) dalam durasi 10 bulan. Kadar trigliserida yang sebelumnya 879 mg/dL dan tidak berhasil diturunkan dengan diet, setelah penggunaan bezafibrate selama 6 bulan sebanyak 35 %. 5, 19
Gambar 7. Insidens infark miokard per 10.000 tahun-orang pada penderita HIV pria berdasarkan lama penggunanan terapi PI (dalam bulan) dan dibandingkan dengan populasi pria umum dalam usia yang sama.9
Disfungsi Autonomis
Tanda-tanda awal dari suatu disfungsi autonomis pada penderita infeksi HIV meliputi syncope, pre-syncope, keringat yang berkurang, diare, disfungsi ginjal dan impotensi. Pada sebuah studi yang menilai variabilitas denyut jantung, rasio vasalva, respon hemodinamik terhadap latihan isometric dan tes tilt-table menunjukkan adanya gangguan autonomis pada penderita infeksi HIV dan semakin nyata padapenderita AIDS. Gangguan yang disebabkan pada sistem saraf autonom mempengaruhi divisi simpatis maupun parasimpatis.3, 4
Kesimpulan
Infeksi HIV mempengaruhi sistem kardiovaskular melalui berbagai aspek, dan secara langsung memperburuk prognosis penderitanya. Diperkenalkannya terapi HAART pada ujung abad ke-20 telah membawa perjalanan HIV/AIDS menuju era baru yang jauh lebih baik, yang juga memperbaiki komplikasi klasik kardiovaskular yang disebabkan infeksi HIV.
Penggunaan terapi HAART ternyata juga membawa permasalahan baru terhadap ahli jantung, ditandai dengan munculnya kelainan yang tidak dijumpai sebelum era HAART, seperti kelainan metabolik dan penyakit jantung koroner yang prematur. Bagaimanapun terapi HAART masih merupakan barang langka yang sulit diperoleh, dengan hanya 20 % penderita yang membutuhkan memiliki akses untuk memperolehnya, dengan demikian komplikasi klasik dari HIV akan terus mewarnai perjalanan penderitanya. Data yang lebih lengkap masih dibutuhkan, untuk dapat menciptakan acuan tatalaksana komplikasi kardiovaskular penderita HIV yang paling sesuai pada era HAART.
Daftar Pustaka
1. Khunnawat C, Mukerji S, Havlichek D, et al. Cardiovascular Manifestations in Human Immunodeficiency Virus-Infected Patients. Am J Cardiol 2008; 102:635-642.
2. Quinn TC, Bartlett JG, McGovern BH. The global human immunodeficiency virus pandemic. Up to date version 17.1, 2009.
3. Zipes DP, Libby P, Bonow RO, et al, editors. Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005.
4. Cheitlin MD, Bartlett JG, McGovern BH, et al. Cardiac involvement in HIV-infected patients. Up to date version 17.1, 2009.
5. Fuster V, Alexander RW, O’Rourke RA, editors. Hurst’s The Heart. 11th ed. New York: Mc Graw Hill, 2004.
6. Barbaro G. Cardiovascular manifestations of HIV infection. Circulation 2002;106:1420-1425.
7. Rerkpattanapipat P, Wongpraparut N, Jacobs LE, et al. Cardiac manifestations of acquired immunodeficiency syndrome. Arch Intern Med 2000;160:602-608.MAYO
8. Murphy JG, Lloyd MA, editors. Mayo Clinic Cardiology. 3rd ed. Minnesota: Mayo Clinic Scientific Press.
9. Barbaro G, Boccara F. Cardiovascular Disease in AIDS. Verlag: Springer, 2005.
10. Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. 1st ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.
11. Schuster I, Thoni GJ, Edhery S, et al. Subclinial Cardiac Abnormalities in Human Immunodeficiency Virus-Infected Men Receiving Antiretroviral Therapy. Am J Cardiol 2008; 101:1213-1217.
12. Barbaro G, Lorenzo GD, Grisorio B, et al. Incidence of Dilated Cardiomyopathy and detection of HIV in myocardial cells of HIV-positive patients. N Engl J Med 2002; 347(2):140.
13. Castro SD, d’Amati G, Gallo P. et al. Frequency of development of acute global left ventricular dysfunction in human immunodeficiency virus infection. J Am Coll Cardiol 1994;24:1018-24.
14. Sudano I, Spieker LE, Noll G, et al. Cardiovascular disease in HIV infection. Am Heart J 2006;151:1147-55.
15. Herskowitz A, Wu TC, Willoughby SB, et al. Myocarditis and cardioropic viral infection associated with severe left ventricular dysfunction in late stage infection with human immunodeficiency virus. J Am Coll Cardiol 1994;24:1025-32.
16. Blanchard DG, Hagenhoff C, Chow LC, et al. Reversibility of cardiac abnormalities in human immunodeficiency virus (HIV)-infected individuals: a serial echocardiographic study. J Am Coll Cardiol 1991;17(6):1270-6
17. Hsue PY, Waters DD. What a cardiologist needs to know about patients with human immunodeficiency virus infection. Circulation 2005;112:3947-57.
18. Restrepo CS, Diethelm L, Lemos JA, et al. Cardiovascular complications of human immunodeficiency virus infection. Radiographics 2006;26:213-231.
19. Oh J, Hegele RA. HIV-associated dyslipidaemia:pathogenesis and treatment. Lancet Infect Dis 2007;7:787-96.
20. Grinspoon SK. Metabolic syndrome and cardiovascular disease in patients with human immunodeficiency virus. Am J Med 2005;118:23s-28s.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar